Kamis, 14 Mei 2015

KOTE KITE MEMPAWAH


Kota Mempawah adalah Ibu kota Kabupaten Mempawah yang memiliki julukan kota Bestari atau Bumi Galaherang dengan luas 246,40 km2. Kota ini terletak di jalur perdagangan antara Pontianak,Singkawang dan Sambas.kota ini terdiri dari 2 kecamatan yaitu Mempawah Hilir dan Mempawah Timur.kota ini bukan lah kota madya melainkan hanya kota kabupaten di provinsi Kalimantan Barat.kota ini di belah oleh sungai Mempawah yang membagi kota ini menjadi 2 bagian yaitu hilir dan timur

Asal Nama Mempawah

Mempawah berasal dari kata ‘Buah Asam Paoh’, sementara sumber lain dari Mempawah Hilir menyebutkan bahwa Mempawah berasal dari kata ‘Mempelam Paoh’. Baik pohon maupun buah mempelam paoh ini dulunya banyak di temukan di sekitar kota Mempawah, tepatnya disela-sela pohon nipah, di daratan yang tidak jauh dari laut Pendapat berbeda juga di kemukakan oleh sejumlah sumber lain, dimana mereka menyebutkan mempawah berasal dari bahasa Cina, yakni ‘Nam Pa Wa’,yang berarti ‘Arah Selatan’. Pendapat ini terbilang cukup mendasar karena berdasarkan catatan sejarah yang ada orang-orang Cina dulu pernah datang ke daerah pesisir pantai Kalimantan Barat, sekitar pertengahan abad ke 16 (ketika itu Kerajaan Bangkule masih berdiri) sampai abad ke 18 (saat Belanda menduduki tanah air). Karena dialeg orang-orang Cina, kata Nam Pa Wa di lafaskan menjadi kata Mempawah.Catatan sejarah yang lain menyebutkan bahwa Pendiri kerajaan Mempawah,Panembahan Adijaya, menamakan kerajaannya dengan nama Mempawah. Nama ini terinspirasi dari imbasan kata Asam Paoh, Mempelam Paoh, dan Nam Pa Wah. Di zaman pemerintahan Hindia Belanda, mereka kemudian mengubah nama Mempawah menjadi Mempawa. Seiring dengan berjalannya waktu, oleh almarhum Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin (sumber Buku Hari Jadi/Lahir Kota Mempawah oleh M. Yusuf Sahar) nama Mempawa dikembalikan lagi ke nama asalnya, yakni Mempawah.Lantas, mengapa setiap tanggal 15 Februari diperingati sebagai hari jadi kota Mempawah? Menurut catatan yang di buat oleh M. Yusuf Sahar dalam bukunya yang berjudul Hari Jadi/Lahir Kota Mempawah, disana dituliskan hari Rabu, tanggal 8 Jumaidil Akhir 1175 H atau 1761 M sebagai hari lahirnya kota Mempawah. Pendapat Yusuf Sahar ini terbilang cukup beralasan karena dirinya mencatat ada 3 peristiwa penting yang satu sama lain saling bertalian. Ke 3 peristiwa itu adalah berpindahnya ibukota Kerajaan yang di sebut Mempawah sekarang dari Sebukit Kerajaan oleh Panembahan Adijaya yang menamakannya; hapusnya sebuah kerajaan bernama Bungkale Rajakng secara otomatis; dan berdirinya sebuah kerajaan Mempawah dengan raja pertamanya Panembahan Adijaya pada hari Rabu, tanggal 8 Jumaidil Akhir 1175 H atau 1761 M.Dalam sarasehan kedua, 15 Februari 1980, pendapat M. Yusuf Sahar ini sempat di bahas secara mendalam oleh para peserta. Di akhir pertemuan tersebut, para peserta sepakat menerima pendapat tersebut dan menetapkan penggunaan hitungan tahun Masehi sebagai metode penghitungan hari jadi kota Mempawah. Sedangkan ritual acara Robok-Robok di sepakati untuk digelar pada hari Rabu, minggu terakhir di bulan Syafar.Sebagai upaya pelestarian sejarah, sekaligus mensukseskan program pemerintah dalam penanaman seribu pohon, Marsupandi, salah seorang staf di Kantor Informasi, Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Pontianak, memberikan secara simbolis bibit pohon Mempelam Paoh kepada bupati Pontianak, Ria Norsan. Penyerahan pohon bersejarah ini disampaikan diacara peringatan HUT ke-49 Pemindahan Ibukota Kabupaten Pontianak di Mempawah, Jumat (3/2) lalu. Upacara bendera ini digelar di Halaman Kantor Bupati Pontianak. Baik pemimpin, pembina maupun panitia upacara semuanya mengenakan busana Telok Belaga’ bermotifkan Awan Berarak. Tak ketinggalan peserta upacaranya pun mengenakan busana bermotif Awan Berarak.

Geografi

Secara administratif perbatasan Kota Mempawah adalah sebagai berikut:
Utarakecamatan Sadaniang dan Kecamatan sungai Kunyit
SelatanLaut Natuna
BaratLaut Natuna
TimurKecamatan sungai pinyuh dan Kecamatan Toho

Serba serbi Kota Mempawah

artikel ini bisa jadi referensi anda jika berkunjung ke Kota Mempawah

kue(Tambol) khas Mempawah[sunting | sunting sumber]

Geto’,Kacemate,Kue Bule Antu,Gule Tare’,Gule Gentar,Gamat gamat,Doko’ – doko’,Doko’ – doko’ telanjang,Nagesari,Klepon,Corong,Lepat pisang,Lepat Ubi,Lepat telanjang,Lepat malas,Patlau,Sempret,Ati pari,Ongol-ongol,Batang buro’,Lempeng Ubi,Lempeng Sagu,Sagon,Apam kusoy,Apam ade’,Putu Mayang,Putu Piring,Putu Buloh,Pengat Pisang,Korket,Kembang goyang,Bingke berendam,Bingke ubi,Bingke beranyot,Menggale rebos,Rotikap,Blodar,Lopes,puteri Mandi,Jempot Jempot,Putu Mayang,Dadar Gulong,Na'am,Resoles,dan masih banyak lagi

Event di Mempawah

  • FESTIVAL BUDAYA ROBO'-ROBO'
festival ini di adakan pada hari rabu minggu terakhir di bulan safar,berlokasi di kelurahan pasir wan salim (kuala Mempawah),kecamatan Mempawah Timur,sebelum jembatan Kuala,jalan opu daeng menambon (jalan trans kalimantan),,festival ini menghadirkan stand stand yang berjualan pakaian atau alat rumah tangga,di hari H nya di adakan parade,ceremony serta opening dengan menampilkan tarian,ada juga berbagai macam lomba serta ritual buang-buang di sungai mempawah.
  • FESTIVAL SAHUR SAHUR
festival ini di adakan pada hari ke 25 pada bulan ramadhan,berlokasi di jantung Kota Mempawah,di dekat Rumah Bupati/GOR Galaherang,festival ini merupakan lomba alat musik yang biasa di gunakan untuk membangun kan sahur seperti kelontong,seng,ken,dll dan tanpa menggunakan alat modern,festival ini di ikuti oleh peserta se-kalimantan Barat.

Wisata di Mempawah

  • ISTANA AMANTUBILLAH
istana ini terletak di kelurahan pulau pedalaman,kecamatan mempawah timur,istana ini merupakan istana dari kerajaan mempawah.
  • SEBUKIT RAMA
tempat ini terletak di desa pasir tak jauh dari jantung kota mempawah,disini kita akan menemukan makam raja OPU DAENG MENAMBON beserta kerabat,dimana letak makan ini berada di atas bukit.
  • WISATA NUSANTARA
tempat ini terletak di desa penibung,di jalan trans kalimantan,tempat ini menawarkan hotel,karaoke keluarga,taman hiburan,kolam renang,serta pantai yang indah.
  • PANTAI ANCOL
pantai ini terletak di desa sengkubang,tepat di tepi jalan raya menuju kota Singkawang,tempat ini menawarkan pemandangan sunset yang indah di lihat.

Wisata Kuliner

  • RESTORAN GALAHERANG
restoran yang berdekatan dengan Wisata Nusantara, dengan menu khas Mempawah dan juga murah meriah
  • TERMINAL MEMPAWAH
nah,di tempat ini anda akan menemukan berbagai macam makanan dan minuman,buka pada sore hari hingga malam,berlokasi di terminal mempawah.
  • RUMAH MAKAN PAK WAHAB
kalau di tempat ini anda akan menemukan berbagai masakan khas melayu yang enak,terletak di jalan pelabuhan,komplek pelabuhan kuala mempawah,makanan disini sangat enak,sesuai dengan lidah dengan orang melayu dan harga nya terjangkau.
  • RESTORAN PADANG
terletak di jalan gst.muh.taufik mempawah tepat di tepi sungai mempawah
  • RESTORAN MELAYU
berlokasi di jalan gst.muh.taufik du samping perpustakaan daerah

Kerajaan Mempawah

Lambang Kerajaan Mempawah

bawahan/cabang dari kerajaan Tanjungpura/Kesultanan Sukadana, namun pada masa kolonial Belanda, pemerintah Hindia Belanda menunjuk Kesultanan
Kerajaan Panembahan Mempawah adalah sebuah kerajaan Islam yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Penguasa kerajaan ini bergelar Panembahan (bukan Sultan). Dahulu kalanya Kerajaan Mempawah merupakan
Pontianak sebagai wakil Belanda untuk memimpin semua raja-raja di Kalbar. Karena itu penguasa Mempawah dan 12 raja-raja daerah lainnya bergelar Panembahan dan hanya 2 raja yang bergelar Sultan (gelar ini lebih tinggi daripada gelar Panembahan) yaitu Sultan Pontianak dan Sultan Sambas.
Nama Mempawah diambil dari istilah Mempauh, yaitu nama pohon yang tumbuh di hulu sungai yang kemudian juga dikenal dengan nama Sungai Mempawah.Pada perkembangannya, Mempawah menjadi lekat sebagai nama salah satu
kerajaan yang berkembang di Kalimantan Barat. Riwayat pemerintahan adat Mempawah sendiri terbagi atas dua periode, yakni pemerintahan kerajaan Suku Dayak yang berdasarkan ajaran Hindu dan masa pengaruh Islam

Tradisi dan Sejarah ROBO'-ROBO' 


Masuknya Opu Daeng Manambon dan istrinya Putri Kesumba ke Mempawah, bermaksud menerima kekuasaan dari Panembahan Putri Cermin kepada Putri Kesumba yang bergelar Ratu Agung Sinuhun bersama suaminya, Opu Daeng Manambon yang selanjutnya bergelar Pangeran Mas Surya Negara sebagai pejabat raja dalam Kerajaan Bangkule Rajangk.
Awal diperingatinya Robo-robo ini sendiri, bermula dengan kedatangan rombongan Opu Daeng Manambon dan Putri Kesumba yangBangkule Rajangk Mempawah pada tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi.
Berlayarnya Opu Daeng Manambon dari Kerajaan Matan Sukadana (Kabupaten Ketapang) diiringi sekitar 40 perahu.Saat masuk di Muara Kuala Mempawah, rombongan disambut dengan suka cita oleh masyarakat Mempawah. Penyambutan itu dilakukan dengan memasang berbagai kertas dan kain warna warni di rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir sungai. Bahkan, beberapa warga pun menyongsong masuknya Opu Daeng Manambon ke Sungai Mempawah dengan menggunakan sampan.
Terharu karena melihat sambutan rakyat Mempawah yang cukup meriah, Opu Daeng Manambon pun memberikan bekal makanannya kepada warga yang berada di pinggir sungai untuk dapat dinikmati mereka juga. Karena saat kedatangannya bertepatan dengan hari Minggu terakhir bulan Syafar, lantas rombongan tersebut menyempatkan diri turun di Kuala Mempawah.Selanjutnya Opu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya,mohon keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai melakukan doa, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Prosesi itulah yang kemudian dijadikan sebagai awal digelarnya hari Robo-robo,yang saban tahun rutin dilakukan warga Mempawah, dengan melakukan makan di luar rumah bersama sanak saudara dan tetangga.
Bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, bulan Safar diyakini sebagai bulan naas dan sial. Sang Pencipta dipercayai menurunkan berbagai malapetaka pada bulan Safar. Oleh sebab itu, masyarakat yang meyakininya akan menggelar ritual khusus agar terhindar dari marabahaya.









SEJARAH MEMPAWAH

Mempawah pada Masa Kerajaan Dayak-Hindu

Cikal-bakal Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat terkait erat dengan riwayat beberapa kerajaan pendahulunya, di antaranya adalah Kerajaan Bangkule Sultankng dan Kerajaan SidiniangKerajaan Bangkule Sultankng merupakan kerajaan orang-orangSuku Dayak yang didirikan oleh Ne`Rumaga di sebuah tempat yang bernama Bahana.
kerajaan Suku Dayak yang dipimpin Patih Gumantar adalah sebuah pemerintahan yang berdiri sendiri dan sudah eksis sejak sekitar tahun 1380 Masehi. Dikarenakan pusat kerajaan ini berada di Pegunungan Sidiniang, di daerah SangkingMempawah Hulu, maka kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Sidiniang.
Dikisahkan, Patih Gumantar pemah menjalin hubungan dengan Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit dalam rangka mempersatukan negeri-negeri di nusantara di bawahnaungan Majapahit. Bahkan, Patih Gumantar dan Gajah Mada konon pemah bersama-sama ke Muang Thai (Thailand) untuk membendung serangan Khubilai Khan dari Kekaisaran Mongol.Bukti hubungan antara Kerajaan Sidiniang dengan Kerajaan Majapahit adalah adanya keris yang dihadiahkan kepada Patih Gumantar. Keris ini masih disimpan di Hulu Mempawah dan oleh warga setempat keris pusaka ini disebut sebagai "Keris Susuhunan".
Eksistensi Kerajaan Sidiniang tidak lepas dari ancaman. Salah satunya adalah serangan dari Kerajaan Suku Biaju.Dalam pertempuran yang terjadi pada sekitar tahun 1400 M itu, terjadilah perang penggal kepala atau perang kayau-mengayau yang mengakibatkan gugurnya Patih Gumantar.Dengan gugurnya Patih Gumantar, riwayat Kerajaan Sidiniang pun berakhir.Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan Patih Gumantar diteruskan oleh puteranya yang bernama Patih Nyabakng.Namun, masa pemerintahan Patih Nyabakng tidak bertahan lama karena Kerajaan Sidiniang terlibat perselisihan dengan Kerajaan Lara yang berpusat di Sungai Raya Negeri Sambas.Selepas kepemimpinan Patih Nyabakng, riwayatKerajaan Sidiniang belum terlacak lagi.
Dua ratus tahun kemudian, atau sekitar tahun 1610 M, berdirilah pemerintahan baru yang dibangun di bekas puing-puing Kerajaan Sidiniang.Belum diketahui hubungan antara pendiri kerajaan baru ini dengan Patih Gumantar.Dan sejumlah referensi yang ditemukan, hanya disebutkan bahwa pemimpin kerajaan baru ini bernama Raja Kodong atau Raja Kudung.Raja Kudung kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari Sidiniang ke Pekana.
Pada sekitar tahun 1680 M, Raja Kudung mangkat dan dimakamkan di Pekana. Penerus tahta Raja Kudung adalah Panembahan Senggaok, juga dikenal dengan nama Senggauk atau Sengkuwuk, yang memerintah sejak tahun 1680 M. Penyebutan nama Panembahan “Senggaok” digunakan seiring dengan dipindahkannya pusat pemerintahan dari Pekana ke Senggaok, yakni sebuah daerah di hulu Sungai MempawahPanembahan Senggaok menyunting puteri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri di Sumatra, bernama Puteri Cermin, dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Utin Indrawati. Puteri Utin Indrawati kemudian dinikahkan dengan [[Sultan Muhammad Zainuddin]] dari Kerajaan Tanjungpura. Dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak bernama Puteri KesumbaPuteri Kesumba inilah yang kemudian menikah dengan Opu Daeng Menambun, pelopor pengaruh Islam di Mempawah.

Mempawah pada Masa Kesultanan Islam[sunting | sunting sumber]

Opu Daeng Menambun berasal dari Kesultanan Luwu Bugis di Sulawesi Selatan. Ayah Opu Daeng Menambun, bernama Opu Tendriburang Dilaga, yang melakukan perjalanan dari Sulawesi ke negeri-negeri di tanah Melayu. Opu Tendriburang Dilaga adalah putera dari Opu La Maddusilat, Raja Bugis pertama yang memeluk IslamOpu Tendriburang Dilaga mempunyai lima orang putera yang diajak berkelana ke tanah Melayu. Kelima anak Opu Tendriburang Dilaga itu adalah Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Perani, Opu Daeng Celak, Opu Daeng Marewah, dan Opu Daeng Kemasi.Kedatangan mereka ke tanah Melayu menjadi salah satu babak migrasi orang- orang Bugis yang terjadi pada abad ke-17 (Andi Ima Kesuma, 2004296).Opu Tendriburang Dilaga dan kelima anak lelakinya memainkan peranan penting di Semenanjung Melayu dan Kalimantan, terutama dalam hal penyebaran agama Islam.
Kedatangan Opu Daeng Menambun ke Kalimantan sebenamya atas permintaan Sultan Matan (Tanjungpura), yakni Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724 M), untuk merebut kembali tahta Kesultanan Matan yang diambil-paksa oleh Pangeran Agung, saudara Sultan Muhammad ZainuddinOpu Daeng Menambun bersaudara, yang saat itu sedang berada di Kesultanan Johor untuk membantu memadamkan pergolakan di sana, segera berangkat ke Tanjungpura. Atas bantuan Opu Daeng Menambun bersaudara, tahta Sultan Muhammad Zainuddin dapat diselamatkan.Opu Daeng Menambun kemudian dinikahkan dengan Ratu Kesumba, puteri Sultan Muhammad Zainuddin.Tidak lama kemudian, Opu Daeng Menambun bersaudara kembali ke Kesultanan Johor.
Sepeninggal Opu Daeng Manambon bersaudara, pergolakan internal terjadi lagi di Kesultanan Matan.Anak-anak Sultan Muhammad Zainuddin meributkan siapa yang berhak mewarisi tahta Kesultanan Matan jika kelak ayah mereka wafat.Sultan Muhammad Zainuddinkembali meminta bantuan Opu Daeng Menambun yang sudah kembali ke Johor.Opu Daeng Menambun memenuhi permintaan Sultan Muhammad Zainuddin dan segera menuju Tanjungpura untuk yang kedua kalinya, sedangkan keempat saudaranya tidak ikut serta karena tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk membantu Kesultanan Johor.
Berkat Opu Daeng Menambun, perselisihan di Kesultanan Matan dapat segera diselesaikan dengan cara damai.[1Atas jasa Opu Daeng Menambun itu, Sultan Muhammad Zainuddin berkenan menganugerahi Opu Daeng Menambun dengan gelar kehormatan Pangeran Mas Suna Negara.[1] Opu Daeng Menambun sendiri memutuskan untuk menetap di Kesultanan Matan bersama istrinya, dan mereka dikaruniai beberapa orang anak, yang masing-masing bernama "Puteri Candramidi", "Gusti Jamiril", "Syarif Ahmad", "Syarif Abubakar", "Syarif Alwie", dan "Syarif Muhammad".[1]
Pada tahun 1724 M, Sultan Muhammad Zainuddin wafat. Penerus kepemimpinan Kesultanan Matan adalah Gusti Kesuma Bandan yang bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin.[3] Sementara itu, di Mempawah, Panembahan Senggaok wafat pada tahun 1737 M.[3] KarenaPanembahan Senggaok tidak mempunyai putera, maka tahta Mempawah diberikan kepada Sultan Muhammad Muazzuddin yang tidak lain cucu Panembahan Senggaok dari Puteri Utin Indrawati yang menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin.[3] Namun, setahun kemudian atau pada tahun 1738 M, Sultan Muhammad Muazzuddin pun mangkat dan digantikan puteranya yang bernama Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung bergelar Sultan Muhammad Tajuddin sebagai Sultan Matan yang ke-3.[3]
Pada tahun 1740 M, kekuasaan atas Mempawah, yang semula dirangkap bersama tahta Kesultanan Matan, diserahkan kepada Opu Daeng Menambun yang kemudian memakai gelar Pangeran Mas Surya Negara, gelar yang dahulu diberikan oleh almarhum Sultan Muhammad Zainuddin, Sultan Matan yang pertama.[3] Sedangkan istri Opu Daeng Menambun, Ratu Kesumba, menyandang gelar sebagai Ratu Agung Sinuhun.[3] Pada era Opu Daeng Menambun inilah Islam dijadikan sebagai agama resmi kerajaan.[4]Selaras dengan itu, penyebutan kerajaan pun diganti dengan kesultanan.[4]Opu Daeng Menambunmemindahkan pusat pemerintahannya dari Senggaok ke Sebukit Rama yang merupakan daerah subur, makmur, strategis, dan ramai didatangi kaum pedagang.[4]
Pengaruh Islam di Mempawah pada era pemerintahan Opu Daeng Menambun semakin kental berkat peran Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang pengelana yang datang dari Hadramaut atau Yaman Selatan.[7] Husein Alqadrie sendiri sebelumnya telah menjabat sebagai hakim utama di Kesultanan Matan pada masa Sultan Muhammad Muazzuddin.[1]Husein Alqadne dinikahkan dengan puteri Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama Nyai Tua (Alqadrie, 2005.[1] Di Kesultanan MatanHusein Alqadrie mengabdi sampai pada pemerintahan sultan ke-4, yakni Sultan Ahmad Kamaluddin, yang menggantikan Sultan Muhammad Tajuddin pada tahun 1749 M.[8] Namun, pada tahun 1755 M, Husein Alqadrie berselisih paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang penerapan hukuman mati.[8]
Melihat kondisi ini, Opu Daeng Menambun kemudian menawari Husein Alqadrie untuk tinggal di Mempawah.[8] Tawaran itu disambut baik oleh Husein Alqadrie yang segera pindah ke Istana Opu Daeng Menambun.[8] Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih sekaligus imam besar Mempawah.[8] Selain itu, Husein Alqadrie diizinkan menempati daerah Kuala Mempawah (Galah Herang) untuk dijadikan sebagai pusat pengajaran agama Islam.[8] Untuk semakin mempererat hubungan antara keluarga Husein Alqadrie dan Kesultanan Mempawah, maka diadakan pernikahan antara anak lelaki Husein Alqadrie yang bernama Syarif Abdurrahman Alqadrie dengan anak perempuan Opu Daeng Menambon yang bernama Puteri Candramidi.[8] Kelak, pada tahun 1778 M, Syarif Abdurrahman Alqadrie mendirikan Kesultanan Kadriah di Pontianak.[4]
Pada tahun 1761 M, Opu Daeng Menambon wafat dan dimakamkan di Sebukit Rama.[4] Penerus tahta Kesultanan Mempawah selanjutnya adalah putera Opu Daeng Menambun, yaitu Gusti Jamiril yang bergelar Panembahan Adiwijaya Kusumajaya.[4] Di bawah kepemimpinan Panembahan Adiwijaya, wilayah kekuasaan Mempawah semakin luas dan terkenal sebagai bandar perdagangan yang ramai.[4]

Kesultanan Mempawah pada Masa Kolonial[sunting | sunting sumber]


Pada sekitar tahun 
1794 M, sengketa antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah bertambah runyam karena Belanda berhasil membujuk Syarif Kasim agar meluaskan Istana Kadriah hingga ke hulu sungai yang dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah.[1]Akibatnya, peperangan kembali berkobar di mana pihak Kesultanan Kadriah dibantu oleh orang-orang tionghoa yang ada di Pontianak, sedangkan kubu Kesultanan Mempawah, yang pada waktu itu belum memiliki sultan baru sebagai pengganti Panembahan Adiwijaya, mendapat dukungan dari orang-orang Suku Dayak dan Kesultanan Singkawang.[1]Namun, karena Kesultanan Kadriah disokong penuh oleh Belanda, pihak Kesultanan Mempawah mengalami kekalahan dalam perang tersebut.[1]Tidak lama setelah Belanda mendarat di Mempawah pada sekitar tahun 1787 M, terjadilah pertempuran melawan pasukan Kesultanan Mempawah yang dipimpin Panembahan Adiwijaya.[4]Syarif Kasim, anak lelaki Sultan Kadriah Pontianak, Syarif Abdurrahman Alqadrie, berhasil dipengaruhi oleh Belanda untuk ikut menyerbu Mempawah.[4]Panembahan Adiwijaya akhirnya menyingkir ke Karangan di Mempawah Hulu guna mengatur siasat.[4]Namun, pada tahun 1790 M, Panembahan Adiwijaya wafat sebelum sempat melancarkan serangan balasan.[1] Panembahan Adiwijaya meninggalkan 8 orang anak dari dua istri.[1]
Selanjutnya, Belanda mengangkat Syarif Kasim sebagai penguasa Mempawah dengan gelar Panembahan Mempawah.[8] Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, ayahanda Syarif Kasim, sebenamya tidak menyetujui pengangkatan itu karena antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah masih terdapat ikatan kekerabatan yang erat.[9] Istri Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, Puteri Candramidi, adalah anak perempuan Opu Daeng Menambon.[9] Pengangkatan Syarif Kasim sebagai Panembahan termaktub dalam perjanjian tanggal 27 Agustus 1787.[9]
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie wafat.[4]Belanda kemudian menunjuk Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Kadriah dengan gelar Sultan Syarif Kasim Alqadrie.[4]Kedudukan Syarif Kasim di Mempawah digantikan oleh saudaranya yang bernama Syarif Hussein.[4]Namun, kekuasaan Syarif Hussein tidak bertahan lama karena kekuatan Belanda di Mempawah mulai goyah akibat perlawanan yang dimotori oleh dua orang putera Panembahan Adiwijaya, yakni putera mahkota, Gusti Jati, dan saudaranya yang bernama Gusti Gusti Mas.[4]Ketika akhimya Belanda berhasil diusir dari Mempawah, Gusti Jati dinobatkan menjadi Sultan Mempawah.[4]Belanda kemudian mundur ke Kesultanan Kadriah di Pontianak di bawah lindungan Sultan Syarif Kasim Alqadrie.[2]
Gusti Jati dinobatkan sebagai pemimpin Kesultanan Mempawah pada sekitar tahun 1820 dengan gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin.[2] Gusti Mas tetap setia mendampingi kakaknya untuk turut mengembangkan kehidupan dan keamanan rakyat Mempawah.[2] Oleh Sultan Muhammad Zainal Abidin, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke tepi Sungai Mempawah, tepatnya di Pulau Pedalaman.[2] Pada era inilah Kesultanan Mempawah semakin terkenal sebagai pusat perdagangan dan memiliki benteng pertahanan yang kuat.[2] Melihat Kesultanan Mempawah, yang semakin jaya, Belanda kemudian menyusun taktik.[2] Belanda mencoba cara damai untuk menghadapi Sultan Muhammad Zainal Abidin, sementara kekuatan perang Kesultanan Kadriah disiapkan untuk segera menyerbu manakala Mempawah lengah.[2]
Taktik Belanda berhasil.[2] Ketika para punggawa Kesultanan Mempawah terlena oleh ajakan damai Belanda, armada perang Kesultanan Kadriah menyerbu Pulau Pedalaman.[2]Bukti serangan ini masih dapat dilihat pada bekas benteng pertahanan yang dibangun di sisi kanan dan kiri Istana Mempawah.[2] Akibat serbuan mendadak tersebut, Sultan Zainal Abidin terpaksa kembali ke Sebukit Rama untuk menghimpun kekuatan.[2] Serangan balik Sultan Zainal Abidin membuahkan hasil, tentara Kesultanan Kadriah dapat dikalahkan.[2] Namun, Sultan Zainal Abidin tidak kembali ke Pulau Pedalaman, ia memilih menyepi dengan menyusuri hulu Sungai Mempawah.[2]
Terjadi lagi kekosongan pemerintahan Kesultanan Mempawah, dan lagi-lagi Belanda memaksimalkan peluang ini dengan mengangkat adik Sultan Zainal Abidin yang bernamaGusti Amin sebagai Sultan Mempawah yang bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin.[10] Pada tahun 1831 itu, Kesultanan Mempawah melemah karena campur-tangan Belanda.[2] Sejak itu, setiap suksesi Kesultanan Mempawah menjadi permainan politik yang diatur oleh Belanda.[2] Selain itu, pihak Kesultanan Mempawah harus tunduk pada aturan-aturan buatan Belanda.[2]
Setelah Gusti Amin wafat pada tahun 1839Belanda menobatkan Gusti Mukmin menjadi Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma.[2]Selanjutnya, pada tahun 1858Belanda menabalkan Gusti Makhmud sebagai Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin.[2] Pada tahun 1858 itu telah diangkat pula Gusti Usman sebagai Sultan Mempawah.[2] Dari tulisan itu, dimungkinkan Gusti Makhmud wafat tidak lama setelah dinobatkan. Gusti Usman, anak Gusti Mukmin, diangkat menjadi Sultan Mempawah untuk sementara.[3] Kemungkinan tersebut mendekati kebenaran karena ketika Gusti Usman meninggal dunia pada tahun 1872, yang diangkat sebagai Sultan Mempawah adalah Gusti Ibrahim gelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin yang tidak lain adalah putera Gusti Makhmud.[3]
Ketika Gusti Ibrahim mangkat pada tahun 1892, sang putera mahkota, Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin, dinilai belum cukup umur untuk diangkat sebagai penggantinya.[10] Oleh karena itu, yang dinobatkan selaku pemangku adat Kesultanan Mempawah untuk sementara adalah Gusti Intan, kakak perempuan Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin.[10] Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin sendiri baru naik tahta pada tahun 1902.[2] Sultan ini membangun Istana Amantubillah Wa Rusuli Allah di Pulau Pedalaman pada tahun 1922.[2] Pemerintahan Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin masih berlangsung hingga kedatangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942.[2]
Kedatangan Jepang menimbulkan tragedi bagi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Mempawah.[2] Pada tahun 1944Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin ditawan tentara Jepang hingga akhir hayatnya. Hingga kini, jasad ataupun makam Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin belum ditemukan.[2] Karena putera mahkota, Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim, belum dewasa, maka Jepang mengangkat Gusti Mustaan selaku Wakil Panembahan Kesultanan Mempawah yang menjabat hingga tahun 1955.[4]Namun, waktu itu Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim tidak bersedia dinobatkan menjadi Sultan Mempawah karena masih ingin menyelesaikan pendidikannya diYogyakarta.[4]Oleh karena itu, yang dianggap sebagai Sultan Mempawah terakhir adalah Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin.[4]
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kemudian disusul dengan pengakuan kedaulatan secara penuh dari Belanda kepada Indonesia pada tahun 1949, terjadi perombakan yang signifikan dalam bidang sistem pemerintahan, termasuk sistem pemerintahan di daerah.[1] Hal itu terjadi juga di Kalimantan Barat, dengan terbentuknyaRepublik Indonesia, segala wewenang yang pernah dilimpahkan kepada Daerah Istimewa Kalimantan Barat dikembalikan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]
Pada akhirnya kemudian, atas desakan rakyat, para tokoh adat Dayak dan Melayu-BugisGusti Jimmi Muhammad Ibrahim akhirnya bersedia dinobatkan sebagai pemangku adat Kesultanan Mempawah.[1] Karena telah bergabung dan menjadi bagian dari NKRI, kepemimpinan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim yang menyandang gelar sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah sudah tidak memiliki kewenangan lagi secara politik.[1]
Tanggal 12 Agustus 2002, karena menderita sakit yang tidak kunjung sembuh, Panembahan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim menyerahkan kekuasaan Kesultanan Mempawah kepada puteranya yang bernama Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim yang kemudian dinobatkan sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah dan bertahta hingga saat ini.[1] Pada tahun 2005, Panembahan Jimmy Mohammad Ibrahim wafat dalam usia 73 tahun dan dimakamkan dengan upacara kebesaran adat Kesultanan Mempawah.[1]

Silsilah pemimpin Mempawah[sunting | sunting sumber]

Silsilah Panembahan kesultanan mempawah, antara lain:[1]

Masa Suku Dayak Hindu[sunting | sunting sumber]

  1. Patih Gumantar (± 1380)
  2. Raja Kudung (± 1610)
  3. Panembahan Senggaok (± 1680)

Masa Islam[sunting | sunting sumber]

  1. Opu Daeng Menambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara (1740–1761)
  2. Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma (1761–1787)
  3. Syarif Kasim bergelar Panembahan Mempawah (1787–1808)
  4. Syarif Hussein (1808–1820)
  5. Gusti Jati bergelar Sri Paduka Muhammad Zainal Abidin (1820–1831)
  6. Gusti Amin bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (1831–1839)
  7. Gusti Mukmin bergelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839–1858)
  8. Gusti Makhmud bergelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin (1858)
  9. Gusti Usman bergelar Panembahan Usman (1858–1872)
  10. Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872–1892)
  11. Gusti Intan bergelar Ratu Permaisuri (1892–1902)
  12. Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin (1902–1944)
  13. Gusti Mustaan (1944–1955); diangkat oleh Jepang
  14. Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim Bergelar Panembahan XII (1955-2002)
  15. Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim bergelar Panembahan XIII (2002–sekarang)

Wilayah Kekuasaan[sunting | sunting sumber]

Sepanjang riwayat sejarahnya, baik ketika masih berwujud kerajaan Suku Dayak maupun kesultanan bercorak Islam, pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat.[1] Daerah-daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah tersebut berada di wilayahMempawah Hulu atau Mempawah Hilir yang kini termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.[1] Beberapa tempat yang pemah menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Mempawah tersebut antara lain BahanaSidiniang (Sangking), Pekana (Karangan), SenggaokSebukit RamaKuala Mempawah (Galah Herang), Sunga, dan Pulau Pedalaman.[1]

Mempawah pada Masa Kerajaan Dayak-Hindu[sunting | sunting sumber]

Cikal-bakal Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat terkait erat dengan riwayat beberapa kerajaan pendahulunya, di antaranya adalah Kerajaan Bangkule Sultankng dan Kerajaan Sidiniang.[3] Kerajaan Bangkule Sultankng merupakan kerajaan orang-orangSuku Dayak yang didirikan oleh Ne`Rumaga di sebuah tempat yang bernama Bahana.[3]
kerajaan Suku Dayak yang dipimpin Patih Gumantar adalah sebuah pemerintahan yang berdiri sendiri dan sudah eksis sejak sekitar tahun 1380 Masehi.[4] Dikarenakan pusat kerajaan ini berada di Pegunungan Sidiniang, di daerah SangkingMempawah Hulu, maka kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Sidiniang.[4]
Dikisahkan, Patih Gumantar pemah menjalin hubungan dengan Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit dalam rangka mempersatukan negeri-negeri di nusantara di bawah naungan Majapahit.[2] Bahkan, Patih Gumantar dan Gajah Mada konon pemah bersama-sama ke Muang Thai (Thailand) untuk membendung serangan Khubilai Khan dari Kekaisaran Mongol.[2] Bukti hubungan antara Kerajaan Sidiniang dengan Kerajaan Majapahit adalah adanya keris yang dihadiahkan kepada Patih Gumantar.[2] Keris ini masih disimpan di Hulu Mempawah dan oleh warga setempat keris pusaka ini disebut sebagai "Keris Susuhunan".[2]
Eksistensi Kerajaan Sidiniang tidak lepas dari ancaman.[2] Salah satunya adalah serangan dari Kerajaan Suku Biaju.[2] Dalam pertempuran yang terjadi pada sekitar tahun 1400 M itu, terjadilah perang penggal kepala atau perang kayau-mengayau yang mengakibatkan gugurnya Patih Gumantar.[2] Dengan gugurnya Patih Gumantar, riwayat Kerajaan Sidiniang pun berakhir.[1]Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan Patih Gumantar diteruskan oleh puteranya yang bernama Patih Nyabakng.[1] Namun, masa pemerintahan Patih Nyabakng tidak bertahan lama karena Kerajaan Sidiniang terlibat perselisihan dengan Kerajaan Lara yang berpusat di Sungai Raya Negeri Sambas.[1] Selepas kepemimpinan Patih Nyabakng, riwayatKerajaan Sidiniang belum terlacak lagi.[4]
Dua ratus tahun kemudian, atau sekitar tahun 1610 M, berdirilah pemerintahan baru yang dibangun di bekas puing-puing Kerajaan Sidiniang.[4]Belum diketahui hubungan antara pendiri kerajaan baru ini dengan Patih Gumantar.[4]Dan sejumlah referensi yang ditemukan, hanya disebutkan bahwa pemimpin kerajaan baru ini bernama Raja Kodong atau Raja Kudung.[4] Raja Kudung kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari Sidiniang ke Pekana.[4]
Pada sekitar tahun 1680 M, Raja Kudung mangkat dan dimakamkan di Pekana.[4] Penerus tahta Raja Kudung adalah Panembahan Senggaok, juga dikenal dengan nama Senggauk atau Sengkuwuk, yang memerintah sejak tahun 1680 M.[2] Penyebutan nama Panembahan “Senggaok” digunakan seiring dengan dipindahkannya pusat pemerintahan dari Pekana ke Senggaok, yakni sebuah daerah di hulu Sungai Mempawah.[2] Panembahan Senggaok menyunting puteri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri di Sumatra, bernama Puteri Cermin, dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Utin Indrawati.[2] Puteri Utin Indrawati kemudian dinikahkan dengan [[Sultan Muhammad Zainuddin]] dari Kerajaan Tanjungpura.[3] Dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak bernama Puteri Kesumba.[4] Puteri Kesumba inilah yang kemudian menikah dengan Opu Daeng Menambun, pelopor pengaruh Islam di Mempawah.[1]

Mempawah pada Masa Kesultanan Islam[sunting | sunting sumber]

Opu Daeng Menambun berasal dari Kesultanan Luwu Bugis di Sulawesi Selatan.[5] Ayah Opu Daeng Menambun, bernama Opu Tendriburang Dilaga, yang melakukan perjalanan dari Sulawesi ke negeri-negeri di tanah Melayu.[5] Opu Tendriburang Dilaga adalah putera dari Opu La Maddusilat, Raja Bugis pertama yang memeluk Islam.[5] Opu Tendriburang Dilaga mempunyai lima orang putera yang diajak berkelana ke tanah Melayu.[6] Kelima anak Opu Tendriburang Dilaga itu adalah Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Perani, Opu Daeng Celak, Opu Daeng Marewah, dan Opu Daeng Kemasi.[6] Kedatangan mereka ke tanah Melayu menjadi salah satu babak migrasi orang- orang Bugis yang terjadi pada abad ke-17 (Andi Ima Kesuma, 2004296).[3] Opu Tendriburang Dilaga dan kelima anak lelakinya memainkan peranan penting di Semenanjung Melayu dan Kalimantan, terutama dalam hal penyebaran agama Islam.[3]
Kedatangan Opu Daeng Menambun ke Kalimantan sebenamya atas permintaan Sultan Matan (Tanjungpura), yakni Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724 M), untuk merebut kembali tahta Kesultanan Matan yang diambil-paksa oleh Pangeran Agung, saudara Sultan Muhammad Zainuddin.[4] Opu Daeng Menambun bersaudara, yang saat itu sedang berada di Kesultanan Johor untuk membantu memadamkan pergolakan di sana, segera berangkat ke Tanjungpura.[6] Atas bantuan Opu Daeng Menambun bersaudara, tahta Sultan Muhammad Zainuddin dapat diselamatkan.[6] Opu Daeng Menambun kemudian dinikahkan dengan Ratu Kesumba, puteri Sultan Muhammad Zainuddin.[4]Tidak lama kemudian, Opu Daeng Menambun bersaudara kembali ke Kesultanan Johor.[4]
Sepeninggal Opu Daeng Menambun bersaudara, pergolakan internal terjadi lagi di Kesultanan Matan.[4]Anak-anak Sultan Muhammad Zainuddin meributkan siapa yang berhak mewarisi tahta Kesultanan Matan jika kelak ayah mereka wafat.[4]Sultan Muhammad Zainuddinkembali meminta bantuan Opu Daeng Menambun yang sudah kembali ke Johor.[4]Opu Daeng Menambun memenuhi permintaan Sultan Muhammad Zainuddin dan segera menuju Tanjungpura untuk yang kedua kalinya, sedangkan keempat saudaranya tidak ikut serta karena tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk membantu Kesultanan Johor.[4]
Berkat Opu Daeng Menambun, perselisihan di Kesultanan Matan dapat segera diselesaikan dengan cara damai.[1] Atas jasa Opu Daeng Menambun itu, Sultan Muhammad Zainuddin berkenan menganugerahi Opu Daeng Menambun dengan gelar kehormatan Pangeran Mas Suna Negara.[1] Opu Daeng Menambun sendiri memutuskan untuk menetap di Kesultanan Matan bersama istrinya, dan mereka dikaruniai beberapa orang anak, yang masing-masing bernama "Puteri Candramidi", "Gusti Jamiril", "Syarif Ahmad", "Syarif Abubakar", "Syarif Alwie", dan "Syarif Muhammad".[1]
Pada tahun 1724 M, Sultan Muhammad Zainuddin wafat. Penerus kepemimpinan Kesultanan Matan adalah Gusti Kesuma Bandan yang bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin.[3] Sementara itu, di Mempawah, Panembahan Senggaok wafat pada tahun 1737 M.[3] KarenaPanembahan Senggaok tidak mempunyai putera, maka tahta Mempawah diberikan kepada Sultan Muhammad Muazzuddin yang tidak lain cucu Panembahan Senggaok dari Puteri Utin Indrawati yang menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin.[3] Namun, setahun kemudian atau pada tahun 1738 M, Sultan Muhammad Muazzuddin pun mangkat dan digantikan puteranya yang bernama Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung bergelar Sultan Muhammad Tajuddin sebagai Sultan Matan yang ke-3.[3]
Pada tahun 1740 M, kekuasaan atas Mempawah, yang semula dirangkap bersama tahta Kesultanan Matan, diserahkan kepada Opu Daeng Menambun yang kemudian memakai gelar Pangeran Mas Surya Negara, gelar yang dahulu diberikan oleh almarhum Sultan Muhammad Zainuddin, Sultan Matan yang pertama.[3] Sedangkan istri Opu Daeng Menambun, Ratu Kesumba, menyandang gelar sebagai Ratu Agung Sinuhun.[3] Pada era Opu Daeng Menambun inilah Islam dijadikan sebagai agama resmi kerajaan.[4]Selaras dengan itu, penyebutan kerajaan pun diganti dengan kesultanan.[4]Opu Daeng Menambunmemindahkan pusat pemerintahannya dari Senggaok ke Sebukit Rama yang merupakan daerah subur, makmur, strategis, dan ramai didatangi kaum pedagang.[4]
Pengaruh Islam di Mempawah pada era pemerintahan Opu Daeng Menambun semakin kental berkat peran Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang pengelana yang datang dari Hadramaut atau Yaman Selatan.[7] Husein Alqadrie sendiri sebelumnya telah menjabat sebagai hakim utama di Kesultanan Matan pada masa Sultan Muhammad Muazzuddin.[1]Husein Alqadne dinikahkan dengan puteri Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama Nyai Tua (Alqadrie, 2005.[1] Di Kesultanan MatanHusein Alqadrie mengabdi sampai pada pemerintahan sultan ke-4, yakni Sultan Ahmad Kamaluddin, yang menggantikan Sultan Muhammad Tajuddin pada tahun 1749 M.[8] Namun, pada tahun 1755 M, Husein Alqadrie berselisih paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang penerapan hukuman mati.[8]
Melihat kondisi ini, Opu Daeng Menambun kemudian menawari Husein Alqadrie untuk tinggal di Mempawah.[8] Tawaran itu disambut baik oleh Husein Alqadrie yang segera pindah ke Istana Opu Daeng Menambun.[8] Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih sekaligus imam besar Mempawah.[8] Selain itu, Husein Alqadrie diizinkan menempati daerah Kuala Mempawah (Galah Herang) untuk dijadikan sebagai pusat pengajaran agama Islam.[8] Untuk semakin mempererat hubungan antara keluarga Husein Alqadrie dan Kesultanan Mempawah, maka diadakan pernikahan antara anak lelaki Husein Alqadrie yang bernama Syarif Abdurrahman Alqadrie dengan anak perempuan Opu Daeng Menambon yang bernama Puteri Candramidi.[8] Kelak, pada tahun 1778 M, Syarif Abdurrahman Alqadrie mendirikan Kesultanan Kadriah di Pontianak.[4]
Pada tahun 1761 M, Opu Daeng Menambon wafat dan dimakamkan di Sebukit Rama.[4] Penerus tahta Kesultanan Mempawah selanjutnya adalah putera Opu Daeng Menambun, yaitu Gusti Jamiril yang bergelar Panembahan Adiwijaya Kusumajaya.[4] Di bawah kepemimpinan Panembahan Adiwijaya, wilayah kekuasaan Mempawah semakin luas dan terkenal sebagai bandar perdagangan yang ramai.[4]

Kesultanan Mempawah pada Masa Kolonial[sunting | sunting sumber]

Keraton Mempawah
Tidak lama setelah Belanda mendarat di Mempawah pada sekitar tahun 1787 M, terjadilah pertempuran melawan pasukan Kesultanan Mempawah yang dipimpin Panembahan Adiwijaya.[4]Syarif Kasim, anak lelaki Sultan Kadriah Pontianak, Syarif Abdurrahman Alqadrie, berhasil dipengaruhi oleh Belanda untuk ikut menyerbu Mempawah.[4]Panembahan Adiwijaya akhirnya menyingkir ke Karangan di Mempawah Hulu guna mengatur siasat.[4]Namun, pada tahun 1790 M, Panembahan Adiwijaya wafat sebelum sempat melancarkan serangan balasan.[1] Panembahan Adiwijaya meninggalkan 8 orang anak dari dua istri.[1]
Pada sekitar tahun 1794 M, sengketa antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah bertambah runyam karena Belanda berhasil membujuk Syarif Kasim agar meluaskan Istana Kadriah hingga ke hulu sungai yang dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah.[1]Akibatnya, peperangan kembali berkobar di mana pihak Kesultanan Kadriah dibantu oleh orang-orang tionghoa yang ada di Pontianak, sedangkan kubu Kesultanan Mempawah, yang pada waktu itu belum memiliki sultan baru sebagai pengganti Panembahan Adiwijaya, mendapat dukungan dari orang-orang Suku Dayak dan Kesultanan Singkawang.[1]Namun, karena Kesultanan Kadriah disokong penuh oleh Belanda, pihak Kesultanan Mempawah mengalami kekalahan dalam perang tersebut.[1]
Selanjutnya, Belanda mengangkat Syarif Kasim sebagai penguasa Mempawah dengan gelar Panembahan Mempawah.[8] Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, ayahanda Syarif Kasim, sebenamya tidak menyetujui pengangkatan itu karena antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah masih terdapat ikatan kekerabatan yang erat.[9] Istri Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, Puteri Candramidi, adalah anak perempuan Opu Daeng Menambon.[9] Pengangkatan Syarif Kasim sebagai Panembahan termaktub dalam perjanjian tanggal 27 Agustus 1787.[9]
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie wafat.[4]Belanda kemudian menunjuk Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Kadriah dengan gelar Sultan Syarif Kasim Alqadrie.[4]Kedudukan Syarif Kasim di Mempawah digantikan oleh saudaranya yang bernama Syarif Hussein.[4]Namun, kekuasaan Syarif Hussein tidak bertahan lama karena kekuatan Belanda di Mempawah mulai goyah akibat perlawanan yang dimotori oleh dua orang putera Panembahan Adiwijaya, yakni putera mahkota, Gusti Jati, dan saudaranya yang bernama Gusti Gusti Mas.[4]Ketika akhimya Belanda berhasil diusir dari Mempawah, Gusti Jati dinobatkan menjadi Sultan Mempawah.[4]Belanda kemudian mundur ke Kesultanan Kadriah di Pontianak di bawah lindungan Sultan Syarif Kasim Alqadrie.[2]
Gusti Jati dinobatkan sebagai pemimpin Kesultanan Mempawah pada sekitar tahun 1820 dengan gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin.[2] Gusti Mas tetap setia mendampingi kakaknya untuk turut mengembangkan kehidupan dan keamanan rakyat Mempawah.[2] Oleh Sultan Muhammad Zainal Abidin, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke tepi Sungai Mempawah, tepatnya di Pulau Pedalaman.[2] Pada era inilah Kesultanan Mempawah semakin terkenal sebagai pusat perdagangan dan memiliki benteng pertahanan yang kuat.[2] Melihat Kesultanan Mempawah, yang semakin jaya, Belanda kemudian menyusun taktik.[2] Belanda mencoba cara damai untuk menghadapi Sultan Muhammad Zainal Abidin, sementara kekuatan perang Kesultanan Kadriah disiapkan untuk segera menyerbu manakala Mempawah lengah.[2]
Taktik Belanda berhasil.[2] Ketika para punggawa Kesultanan Mempawah terlena oleh ajakan damai Belanda, armada perang Kesultanan Kadriah menyerbu Pulau Pedalaman.[2]Bukti serangan ini masih dapat dilihat pada bekas benteng pertahanan yang dibangun di sisi kanan dan kiri Istana Mempawah.[2] Akibat serbuan mendadak tersebut, Sultan Zainal Abidin terpaksa kembali ke Sebukit Rama untuk menghimpun kekuatan.[2] Serangan balik Sultan Zainal Abidin membuahkan hasil, tentara Kesultanan Kadriah dapat dikalahkan.[2] Namun, Sultan Zainal Abidin tidak kembali ke Pulau Pedalaman, ia memilih menyepi dengan menyusuri hulu Sungai Mempawah.[2]
Terjadi lagi kekosongan pemerintahan Kesultanan Mempawah, dan lagi-lagi Belanda memaksimalkan peluang ini dengan mengangkat adik Sultan Zainal Abidin yang bernamaGusti Amin sebagai Sultan Mempawah yang bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin.[10] Pada tahun 1831 itu, Kesultanan Mempawah melemah karena campur-tangan Belanda.[2] Sejak itu, setiap suksesi Kesultanan Mempawah menjadi permainan politik yang diatur oleh Belanda.[2] Selain itu, pihak Kesultanan Mempawah harus tunduk pada aturan-aturan buatan Belanda.[2]
Setelah Gusti Amin wafat pada tahun 1839Belanda menobatkan Gusti Mukmin menjadi Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma.[2]Selanjutnya, pada tahun 1858Belanda menabalkan Gusti Makhmud sebagai Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin.[2] Pada tahun 1858 itu telah diangkat pula Gusti Usman sebagai Sultan Mempawah.[2] Dari tulisan itu, dimungkinkan Gusti Makhmud wafat tidak lama setelah dinobatkan. Gusti Usman, anak Gusti Mukmin, diangkat menjadi Sultan Mempawah untuk sementara.[3] Kemungkinan tersebut mendekati kebenaran karena ketika Gusti Usman meninggal dunia pada tahun 1872, yang diangkat sebagai Sultan Mempawah adalah Gusti Ibrahim gelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin yang tidak lain adalah putera Gusti Makhmud.[3]
Ketika Gusti Ibrahim mangkat pada tahun 1892, sang putera mahkota, Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin, dinilai belum cukup umur untuk diangkat sebagai penggantinya.[10] Oleh karena itu, yang dinobatkan selaku pemangku adat Kesultanan Mempawah untuk sementara adalah Gusti Intan, kakak perempuan Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin.[10] Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin sendiri baru naik tahta pada tahun 1902.[2] Sultan ini membangun Istana Amantubillah Wa Rusuli Allah di Pulau Pedalaman pada tahun 1922.[2] Pemerintahan Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin masih berlangsung hingga kedatangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942.[2]
Kedatangan Jepang menimbulkan tragedi bagi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Mempawah.[2] Pada tahun 1944Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin ditawan tentara Jepang hingga akhir hayatnya. Hingga kini, jasad ataupun makam Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin belum ditemukan.[2] Karena putera mahkota, Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim, belum dewasa, maka Jepang mengangkat Gusti Mustaan selaku Wakil Panembahan Kesultanan Mempawah yang menjabat hingga tahun 1955.[4]Namun, waktu itu Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim tidak bersedia dinobatkan menjadi Sultan Mempawah karena masih ingin menyelesaikan pendidikannya diYogyakarta.[4]Oleh karena itu, yang dianggap sebagai Sultan Mempawah terakhir adalah Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin.[4]
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kemudian disusul dengan pengakuan kedaulatan secara penuh dari Belanda kepada Indonesia pada tahun 1949, terjadi perombakan yang signifikan dalam bidang sistem pemerintahan, termasuk sistem pemerintahan di daerah.[1] Hal itu terjadi juga di Kalimantan Barat, dengan terbentuknyaRepublik Indonesia, segala wewenang yang pernah dilimpahkan kepada Daerah Istimewa Kalimantan Barat dikembalikan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]
Pada akhirnya kemudian, atas desakan rakyat, para tokoh adat Dayak dan Melayu-BugisGusti Jimmi Muhammad Ibrahim akhirnya bersedia dinobatkan sebagai pemangku adat Kesultanan Mempawah.[1] Karena telah bergabung dan menjadi bagian dari NKRI, kepemimpinan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim yang menyandang gelar sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah sudah tidak memiliki kewenangan lagi secara politik.[1]
Tanggal 12 Agustus 2002, karena menderita sakit yang tidak kunjung sembuh, Panembahan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim menyerahkan kekuasaan Kesultanan Mempawah kepada puteranya yang bernama Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim yang kemudian dinobatkan sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah dan bertahta hingga saat ini.[1] Pada tahun 2005, Panembahan Jimmy Mohammad Ibrahim wafat dalam usia 73 tahun dan dimakamkan dengan upacara kebesaran adat Kesultanan Mempawah.[1]

Silsilah pemimpin Mempawah[sunting | sunting sumber]

Silsilah Panembahan kesultanan mempawah, antara lain:[1]

Masa Suku Dayak Hindu[sunting | sunting sumber]

  1. Patih Gumantar (± 1380)
  2. Raja Kudung (± 1610)
  3. Panembahan Senggaok (± 1680)

Masa Islam[sunting | sunting sumber]

  1. Opu Daeng Menambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara (1740–1761)
  2. Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma (1761–1787)
  3. Syarif Kasim bergelar Panembahan Mempawah (1787–1808)
  4. Syarif Hussein (1808–1820)
  5. Gusti Jati bergelar Sri Paduka Muhammad Zainal Abidin (1820–1831)
  6. Gusti Amin bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (1831–1839)
  7. Gusti Mukmin bergelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839–1858)
  8. Gusti Makhmud bergelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin (1858)
  9. Gusti Usman bergelar Panembahan Usman (1858–1872)
  10. Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872–1892)
  11. Gusti Intan bergelar Ratu Permaisuri (1892–1902)
  12. Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin (1902–1944)
  13. Gusti Mustaan (1944–1955); diangkat oleh Jepang
  14. Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim Bergelar Panembahan XII (1955-2002)
  15. Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim bergelar Panembahan XIII (2002–sekarang)

Wilayah Kekuasaan[sunting | sunting sumber]

Sepanjang riwayat sejarahnya, baik ketika masih berwujud kerajaan Suku Dayak maupun kesultanan bercorak Islam, pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat.[1] Daerah-daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah tersebut berada di wilayahMempawah Hulu atau Mempawah Hilir yang kini termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.[1] Beberapa tempat yang pemah menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Mempawah tersebut antara lain BahanaSidiniang (Sangking), Pekana (Karangan), SenggaokSebukit RamaKuala Mempawah (Galah Herang), Sunga, dan Pulau Pedalaman.[1]

Mempawah pada Masa Kerajaan Dayak-Hindu[sunting | sunting sumber]

Cikal-bakal Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat terkait erat dengan riwayat beberapa kerajaan pendahulunya, di antaranya adalah Kerajaan Bangkule Sultankng dan Kerajaan Sidiniang.[3] Kerajaan Bangkule Sultankng merupakan kerajaan orang-orangSuku Dayak yang didirikan oleh Ne`Rumaga di sebuah tempat yang bernama Bahana.[3]
kerajaan Suku Dayak yang dipimpin Patih Gumantar adalah sebuah pemerintahan yang berdiri sendiri dan sudah eksis sejak sekitar tahun 1380 Masehi.[4] Dikarenakan pusat kerajaan ini berada di Pegunungan Sidiniang, di daerah SangkingMempawah Hulu, maka kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Sidiniang.[4]
Dikisahkan, Patih Gumantar pemah menjalin hubungan dengan Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit dalam rangka mempersatukan negeri-negeri di nusantara di bawah naungan Majapahit.[2] Bahkan, Patih Gumantar dan Gajah Mada konon pemah bersama-sama ke Muang Thai (Thailand) untuk membendung serangan Khubilai Khan dari Kekaisaran Mongol.[2] Bukti hubungan antara Kerajaan Sidiniang dengan Kerajaan Majapahit adalah adanya keris yang dihadiahkan kepada Patih Gumantar.[2] Keris ini masih disimpan di Hulu Mempawah dan oleh warga setempat keris pusaka ini disebut sebagai "Keris Susuhunan".[2]
Eksistensi Kerajaan Sidiniang tidak lepas dari ancaman.[2] Salah satunya adalah serangan dari Kerajaan Suku Biaju.[2] Dalam pertempuran yang terjadi pada sekitar tahun 1400 M itu, terjadilah perang penggal kepala atau perang kayau-mengayau yang mengakibatkan gugurnya Patih Gumantar.[2] Dengan gugurnya Patih Gumantar, riwayat Kerajaan Sidiniang pun berakhir.[1]Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan Patih Gumantar diteruskan oleh puteranya yang bernama Patih Nyabakng.[1] Namun, masa pemerintahan Patih Nyabakng tidak bertahan lama karena Kerajaan Sidiniang terlibat perselisihan dengan Kerajaan Lara yang berpusat di Sungai Raya Negeri Sambas.[1] Selepas kepemimpinan Patih Nyabakng, riwayatKerajaan Sidiniang belum terlacak lagi.[4]
Dua ratus tahun kemudian, atau sekitar tahun 1610 M, berdirilah pemerintahan baru yang dibangun di bekas puing-puing Kerajaan Sidiniang.[4]Belum diketahui hubungan antara pendiri kerajaan baru ini dengan Patih Gumantar.[4]Dan sejumlah referensi yang ditemukan, hanya disebutkan bahwa pemimpin kerajaan baru ini bernama Raja Kodong atau Raja Kudung.[4] Raja Kudung kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari Sidiniang ke Pekana.[4]
Pada sekitar tahun 1680 M, Raja Kudung mangkat dan dimakamkan di Pekana.[4] Penerus tahta Raja Kudung adalah Panembahan Senggaok, juga dikenal dengan nama Senggauk atau Sengkuwuk, yang memerintah sejak tahun 1680 M.[2] Penyebutan nama Panembahan “Senggaok” digunakan seiring dengan dipindahkannya pusat pemerintahan dari Pekana ke Senggaok, yakni sebuah daerah di hulu Sungai Mempawah.[2] Panembahan Senggaok menyunting puteri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri di Sumatra, bernama Puteri Cermin, dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Utin Indrawati.[2] Puteri Utin Indrawati kemudian dinikahkan dengan [[Sultan Muhammad Zainuddin]] dari Kerajaan Tanjungpura.[3] Dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak bernama Puteri Kesumba.[4] Puteri Kesumba inilah yang kemudian menikah dengan Opu Daeng Menambun, pelopor pengaruh Islam di Mempawah.[1]

Mempawah pada Masa Kesultanan Islam[sunting | sunting sumber]

Opu Daeng Menambun berasal dari Kesultanan Luwu Bugis di Sulawesi Selatan.[5] Ayah Opu Daeng Menambun, bernama Opu Tendriburang Dilaga, yang melakukan perjalanan dari Sulawesi ke negeri-negeri di tanah Melayu.[5] Opu Tendriburang Dilaga adalah putera dari Opu La Maddusilat, Raja Bugis pertama yang memeluk Islam.[5] Opu Tendriburang Dilaga mempunyai lima orang putera yang diajak berkelana ke tanah Melayu.[6] Kelima anak Opu Tendriburang Dilaga itu adalah Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Perani, Opu Daeng Celak, Opu Daeng Marewah, dan Opu Daeng Kemasi.[6] Kedatangan mereka ke tanah Melayu menjadi salah satu babak migrasi orang- orang Bugis yang terjadi pada abad ke-17 (Andi Ima Kesuma, 2004296).[3] Opu Tendriburang Dilaga dan kelima anak lelakinya memainkan peranan penting di Semenanjung Melayu dan Kalimantan, terutama dalam hal penyebaran agama Islam.[3]
Kedatangan Opu Daeng Menambun ke Kalimantan sebenamya atas permintaan Sultan Matan (Tanjungpura), yakni Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724 M), untuk merebut kembali tahta Kesultanan Matan yang diambil-paksa oleh Pangeran Agung, saudara Sultan Muhammad Zainuddin.[4] Opu Daeng Menambun bersaudara, yang saat itu sedang berada di Kesultanan Johor untuk membantu memadamkan pergolakan di sana, segera berangkat ke Tanjungpura.[6] Atas bantuan Opu Daeng Menambun bersaudara, tahta Sultan Muhammad Zainuddin dapat diselamatkan.[6] Opu Daeng Menambun kemudian dinikahkan dengan Ratu Kesumba, puteri Sultan Muhammad Zainuddin.[4]Tidak lama kemudian, Opu Daeng Menambun bersaudara kembali ke Kesultanan Johor.[4]
Sepeninggal Opu Daeng Menambun bersaudara, pergolakan internal terjadi lagi di Kesultanan Matan.[4]Anak-anak Sultan Muhammad Zainuddin meributkan siapa yang berhak mewarisi tahta Kesultanan Matan jika kelak ayah mereka wafat.[4]Sultan Muhammad Zainuddinkembali meminta bantuan Opu Daeng Menambun yang sudah kembali ke Johor.[4]Opu Daeng Menambun memenuhi permintaan Sultan Muhammad Zainuddin dan segera menuju Tanjungpura untuk yang kedua kalinya, sedangkan keempat saudaranya tidak ikut serta karena tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk membantu Kesultanan Johor.[4]
Berkat Opu Daeng Menambun, perselisihan di Kesultanan Matan dapat segera diselesaikan dengan cara damai.[1] Atas jasa Opu Daeng Menambun itu, Sultan Muhammad Zainuddin berkenan menganugerahi Opu Daeng Menambun dengan gelar kehormatan Pangeran Mas Suna Negara.[1] Opu Daeng Menambun sendiri memutuskan untuk menetap di Kesultanan Matan bersama istrinya, dan mereka dikaruniai beberapa orang anak, yang masing-masing bernama "Puteri Candramidi", "Gusti Jamiril", "Syarif Ahmad", "Syarif Abubakar", "Syarif Alwie", dan "Syarif Muhammad".[1]
Pada tahun 1724 M, Sultan Muhammad Zainuddin wafat. Penerus kepemimpinan Kesultanan Matan adalah Gusti Kesuma Bandan yang bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin.[3] Sementara itu, di Mempawah, Panembahan Senggaok wafat pada tahun 1737 M.[3] KarenaPanembahan Senggaok tidak mempunyai putera, maka tahta Mempawah diberikan kepada Sultan Muhammad Muazzuddin yang tidak lain cucu Panembahan Senggaok dari Puteri Utin Indrawati yang menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin.[3] Namun, setahun kemudian atau pada tahun 1738 M, Sultan Muhammad Muazzuddin pun mangkat dan digantikan puteranya yang bernama Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung bergelar Sultan Muhammad Tajuddin sebagai Sultan Matan yang ke-3.[3]
Pada tahun 1740 M, kekuasaan atas Mempawah, yang semula dirangkap bersama tahta Kesultanan Matan, diserahkan kepada Opu Daeng Menambun yang kemudian memakai gelar Pangeran Mas Surya Negara, gelar yang dahulu diberikan oleh almarhum Sultan Muhammad Zainuddin, Sultan Matan yang pertama.[3] Sedangkan istri Opu Daeng Menambun, Ratu Kesumba, menyandang gelar sebagai Ratu Agung Sinuhun.[3] Pada era Opu Daeng Menambun inilah Islam dijadikan sebagai agama resmi kerajaan.[4]Selaras dengan itu, penyebutan kerajaan pun diganti dengan kesultanan.[4]Opu Daeng Menambunmemindahkan pusat pemerintahannya dari Senggaok ke Sebukit Rama yang merupakan daerah subur, makmur, strategis, dan ramai didatangi kaum pedagang.[4]
Pengaruh Islam di Mempawah pada era pemerintahan Opu Daeng Menambun semakin kental berkat peran Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang pengelana yang datang dari Hadramaut atau Yaman Selatan.[7] Husein Alqadrie sendiri sebelumnya telah menjabat sebagai hakim utama di Kesultanan Matan pada masa Sultan Muhammad Muazzuddin.[1]Husein Alqadne dinikahkan dengan puteri Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama Nyai Tua (Alqadrie, 2005.[1] Di Kesultanan MatanHusein Alqadrie mengabdi sampai pada pemerintahan sultan ke-4, yakni Sultan Ahmad Kamaluddin, yang menggantikan Sultan Muhammad Tajuddin pada tahun 1749 M.[8] Namun, pada tahun 1755 M, Husein Alqadrie berselisih paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang penerapan hukuman mati.[8]
Melihat kondisi ini, Opu Daeng Menambun kemudian menawari Husein Alqadrie untuk tinggal di Mempawah.[8] Tawaran itu disambut baik oleh Husein Alqadrie yang segera pindah ke Istana Opu Daeng Menambun.[8] Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih sekaligus imam besar Mempawah.[8] Selain itu, Husein Alqadrie diizinkan menempati daerah Kuala Mempawah (Galah Herang) untuk dijadikan sebagai pusat pengajaran agama Islam.[8] Untuk semakin mempererat hubungan antara keluarga Husein Alqadrie dan Kesultanan Mempawah, maka diadakan pernikahan antara anak lelaki Husein Alqadrie yang bernama Syarif Abdurrahman Alqadrie dengan anak perempuan Opu Daeng Menambon yang bernama Puteri Candramidi.[8] Kelak, pada tahun 1778 M, Syarif Abdurrahman Alqadrie mendirikan Kesultanan Kadriah di Pontianak.[4]
Pada tahun 1761 M, Opu Daeng Menambon wafat dan dimakamkan di Sebukit Rama.[4] Penerus tahta Kesultanan Mempawah selanjutnya adalah putera Opu Daeng Menambun, yaitu Gusti Jamiril yang bergelar Panembahan Adiwijaya Kusumajaya.[4] Di bawah kepemimpinan Panembahan Adiwijaya, wilayah kekuasaan Mempawah semakin luas dan terkenal sebagai bandar perdagangan yang ramai.[4]

Kesultanan Mempawah pada Masa Kolonial[sunting | sunting sumber]

Pada sekitar tahun 1794 M, sengketa antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah bertambah runyam karena Belanda berhasil membujuk Syarif Kasim agar meluaskan Istana Kadriah hingga ke hulu sungai yang dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah.[1]Akibatnya, peperangan kembali berkobar di mana pihak Kesultanan Kadriah dibantu oleh orang-orang tionghoa yang ada di Pontianak, sedangkan kubu Kesultanan Mempawah, yang pada waktu itu belum memiliki sultan baru sebagai pengganti Panembahan Adiwijaya, mendapat dukungan dari orang-orang Suku Dayak dan Kesultanan Singkawang.[1]Namun, karena Kesultanan Kadriah disokong penuh oleh Belanda, pihak Kesultanan Mempawah mengalami kekalahan dalam perang tersebut.[1]Tidak lama setelah Belanda mendarat di Mempawah pada sekitar tahun 1787 M, terjadilah pertempuran melawan pasukan Kesultanan Mempawah yang dipimpin Panembahan Adiwijaya.[4]Syarif Kasim, anak lelaki Sultan Kadriah Pontianak, Syarif Abdurrahman Alqadrie, berhasil dipengaruhi oleh Belanda untuk ikut menyerbu Mempawah.[4]Panembahan Adiwijaya akhirnya menyingkir ke Karangan di Mempawah Hulu guna mengatur siasat.[4]Namun, pada tahun 1790 M, Panembahan Adiwijaya wafat sebelum sempat melancarkan serangan balasan.[1] Panembahan Adiwijaya meninggalkan 8 orang anak dari dua istri.[1]
Selanjutnya, Belanda mengangkat Syarif Kasim sebagai penguasa Mempawah dengan gelar Panembahan Mempawah.[8] Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, ayahanda Syarif Kasim, sebenamya tidak menyetujui pengangkatan itu karena antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah masih terdapat ikatan kekerabatan yang erat.[9] Istri Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, Puteri Candramidi, adalah anak perempuan Opu Daeng Menambon.[9] Pengangkatan Syarif Kasim sebagai Panembahan termaktub dalam perjanjian tanggal 27 Agustus 1787.[9]
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie wafat.[4]Belanda kemudian menunjuk Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Kadriah dengan gelar Sultan Syarif Kasim Alqadrie.[4]Kedudukan Syarif Kasim di Mempawah digantikan oleh saudaranya yang bernama Syarif Hussein.[4]Namun, kekuasaan Syarif Hussein tidak bertahan lama karena kekuatan Belanda di Mempawah mulai goyah akibat perlawanan yang dimotori oleh dua orang putera Panembahan Adiwijaya, yakni putera mahkota, Gusti Jati, dan saudaranya yang bernama Gusti Gusti Mas.[4]Ketika akhimya Belanda berhasil diusir dari Mempawah, Gusti Jati dinobatkan menjadi Sultan Mempawah.[4]Belanda kemudian mundur ke Kesultanan Kadriah di Pontianak di bawah lindungan Sultan Syarif Kasim Alqadrie.[2]
Gusti Jati dinobatkan sebagai pemimpin Kesultanan Mempawah pada sekitar tahun 1820 dengan gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin.[2] Gusti Mas tetap setia mendampingi kakaknya untuk turut mengembangkan kehidupan dan keamanan rakyat Mempawah.[2] Oleh Sultan Muhammad Zainal Abidin, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke tepi Sungai Mempawah, tepatnya di Pulau Pedalaman.[2] Pada era inilah Kesultanan Mempawah semakin terkenal sebagai pusat perdagangan dan memiliki benteng pertahanan yang kuat.[2] Melihat Kesultanan Mempawah, yang semakin jaya, Belanda kemudian menyusun taktik.[2] Belanda mencoba cara damai untuk menghadapi Sultan Muhammad Zainal Abidin, sementara kekuatan perang Kesultanan Kadriah disiapkan untuk segera menyerbu manakala Mempawah lengah.[2]
Taktik Belanda berhasil.[2] Ketika para punggawa Kesultanan Mempawah terlena oleh ajakan damai Belanda, armada perang Kesultanan Kadriah menyerbu Pulau Pedalaman.[2]Bukti serangan ini masih dapat dilihat pada bekas benteng pertahanan yang dibangun di sisi kanan dan kiri Istana Mempawah.[2] Akibat serbuan mendadak tersebut, Sultan Zainal Abidin terpaksa kembali ke Sebukit Rama untuk menghimpun kekuatan.[2] Serangan balik Sultan Zainal Abidin membuahkan hasil, tentara Kesultanan Kadriah dapat dikalahkan.[2] Namun, Sultan Zainal Abidin tidak kembali ke Pulau Pedalaman, ia memilih menyepi dengan menyusuri hulu Sungai Mempawah.[2]
Terjadi lagi kekosongan pemerintahan Kesultanan Mempawah, dan lagi-lagi Belanda memaksimalkan peluang ini dengan mengangkat adik Sultan Zainal Abidin yang bernamaGusti Amin sebagai Sultan Mempawah yang bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin.[10] Pada tahun 1831 itu, Kesultanan Mempawah melemah karena campur-tangan Belanda.[2] Sejak itu, setiap suksesi Kesultanan Mempawah menjadi permainan politik yang diatur oleh Belanda.[2] Selain itu, pihak Kesultanan Mempawah harus tunduk pada aturan-aturan buatan Belanda.[2]
Setelah Gusti Amin wafat pada tahun 1839Belanda menobatkan Gusti Mukmin menjadi Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma.[2]Selanjutnya, pada tahun 1858Belanda menabalkan Gusti Makhmud sebagai Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin.[2] Pada tahun 1858 itu telah diangkat pula Gusti Usman sebagai Sultan Mempawah.[2] Dari tulisan itu, dimungkinkan Gusti Makhmud wafat tidak lama setelah dinobatkan. Gusti Usman, anak Gusti Mukmin, diangkat menjadi Sultan Mempawah untuk sementara.[3] Kemungkinan tersebut mendekati kebenaran karena ketika Gusti Usman meninggal dunia pada tahun 1872, yang diangkat sebagai Sultan Mempawah adalah Gusti Ibrahim gelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin yang tidak lain adalah putera Gusti Makhmud.[3]
Ketika Gusti Ibrahim mangkat pada tahun 1892, sang putera mahkota, Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin, dinilai belum cukup umur untuk diangkat sebagai penggantinya.[10] Oleh karena itu, yang dinobatkan selaku pemangku adat Kesultanan Mempawah untuk sementara adalah Gusti Intan, kakak perempuan Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin.[10] Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin sendiri baru naik tahta pada tahun 1902.[2] Sultan ini membangun Istana Amantubillah Wa Rusuli Allah di Pulau Pedalaman pada tahun 1922.[2] Pemerintahan Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin masih berlangsung hingga kedatangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942.[2]
Kedatangan Jepang menimbulkan tragedi bagi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Mempawah.[2] Pada tahun 1944Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin ditawan tentara Jepang hingga akhir hayatnya. Hingga kini, jasad ataupun makam Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin belum ditemukan.[2] Karena putera mahkota, Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim, belum dewasa, maka Jepang mengangkat Gusti Mustaan selaku Wakil Panembahan Kesultanan Mempawah yang menjabat hingga tahun 1955.[4]Namun, waktu itu Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim tidak bersedia dinobatkan menjadi Sultan Mempawah karena masih ingin menyelesaikan pendidikannya diYogyakarta.[4]Oleh karena itu, yang dianggap sebagai Sultan Mempawah terakhir adalah Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin.[4]
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kemudian disusul dengan pengakuan kedaulatan secara penuh dari Belanda kepada Indonesia pada tahun 1949, terjadi perombakan yang signifikan dalam bidang sistem pemerintahan, termasuk sistem pemerintahan di daerah.[1] Hal itu terjadi juga di Kalimantan Barat, dengan terbentuknyaRepublik Indonesia, segala wewenang yang pernah dilimpahkan kepada Daerah Istimewa Kalimantan Barat dikembalikan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]
Pada akhirnya kemudian, atas desakan rakyat, para tokoh adat Dayak dan Melayu-BugisGusti Jimmi Muhammad Ibrahim akhirnya bersedia dinobatkan sebagai pemangku adat Kesultanan Mempawah.[1] Karena telah bergabung dan menjadi bagian dari NKRI, kepemimpinan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim yang menyandang gelar sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah sudah tidak memiliki kewenangan lagi secara politik.[1]
Tanggal 12 Agustus 2002, karena menderita sakit yang tidak kunjung sembuh, Panembahan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim menyerahkan kekuasaan Kesultanan Mempawah kepada puteranya yang bernama Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim yang kemudian dinobatkan sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah dan bertahta hingga saat ini.[1] Pada tahun 2005, Panembahan Jimmy Mohammad Ibrahim wafat dalam usia 73 tahun dan dimakamkan dengan upacara kebesaran adat Kesultanan Mempawah.[1]

Silsilah pemimpin Mempawah[sunting | sunting sumber]

Silsilah Panembahan kesultanan mempawah, antara lain:[1]

Masa Suku Dayak Hindu[sunting | sunting sumber]

  1. Patih Gumantar (± 1380)
  2. Raja Kudung (± 1610)
  3. Panembahan Senggaok (± 1680)

Masa Islam[sunting | sunting sumber]

  1. Opu Daeng Menambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara (1740–1761)
  2. Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma (1761–1787)
  3. Syarif Kasim bergelar Panembahan Mempawah (1787–1808)
  4. Syarif Hussein (1808–1820)
  5. Gusti Jati bergelar Sri Paduka Muhammad Zainal Abidin (1820–1831)
  6. Gusti Amin bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (1831–1839)
  7. Gusti Mukmin bergelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839–1858)
  8. Gusti Makhmud bergelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin (1858)
  9. Gusti Usman bergelar Panembahan Usman (1858–1872)
  10. Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872–1892)
  11. Gusti Intan bergelar Ratu Permaisuri (1892–1902)
  12. Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin (1902–1944)
  13. Gusti Mustaan (1944–1955); diangkat oleh Jepang
  14. Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim Bergelar Panembahan XII (1955-2002)
  15. Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim bergelar Panembahan XIII (2002–sekarang)

Wilayah Kekuasaan[sunting | sunting sumber]

Sepanjang riwayat sejarahnya, baik ketika masih berwujud kerajaan Suku Dayak maupun kesultanan bercorak Islam, pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat.[1] Daerah-daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah tersebut berada di wilayahMempawah Hulu atau Mempawah Hilir yang kini termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.[1] Beberapa tempat yang pemah menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Mempawah tersebut antara lain BahanaSidiniang (Sangking), Pekana (Karangan), SenggaokSebukit RamaKuala Mempawah (Galah Herang), Sunga, dan Pulau Pedalaman.[1]